Service & Sparepart Laptop/PC

Kamis, 18 Februari 2010

Fenomena Manajemen Spiritual


Seorang pengusaha sukses abad ke-6 bernama Muhammad meninggalkan bisnisnya untuk mencari esensi manajemen yang sebenarnya. Ketika beliau dipertemukan dengan Jibril yang membawa pesan IQRA (Al-Alaq 1-5), beliau menyadari bahwa inilah awal revolusi berpikirnya tentang manajemen yang hakiki. Lingkup pemikirannya kini tidak lagi terpusat kepada dalil-dalil logika semata tetapi telah menerobos ke suatu pemikiran beresensi hati nurani yang mengedepankan tuntunan/petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.

Empat belas abad kemudian sekian banyak ahli manajemen kelas dunia mempublikasikan sekian banyak teori tentang manajemen berbasis spiritual yang bersumber pada kajian olah pikir filosofis mereka yang diperkuat dengan fakta ratusan orang sukses yang menganut paham mereka. Pelatihan leadership berbasis manajemen spiritual kemudian menjadi suatu model yang menawarkan solusi multidimensi terhadap berbagai persoalan manajemen. Namun para peserta kemudian menyadari bahwa basahnya siraman pelatihan tersebut bersifat sesaat dan selanjutnya malah membuat kering pola pikir mereka dibandingkan dengan sebelum mengikuti pelatihan tersebut. Apakah benar bahwa pelatihan itu berbasis spiritual atau hanya spiritual semu?

Esensi spiritual dalam manajemen

Manajemen spiritual didefinisikan oleh penulis sebagai manajemen yang mengedepankan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Apa saja nilai-nilai tersebut? Sekitar tahun 631M dunia mencatat sebuah fenomena manajemen di Madinah, ketika Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat madani di sebuah wilayah yang demokratis, yang menghargai pluralitas dengan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, supremasi hukum, egalitarianisme dan toleransi yang semuanya dibangun dengan basis manajemen spiritual.

Pada tahun 1970 seorang KH Abdullah Said mempublikasikan suatu model manajemen berbasis spiritual yang dikenal dengan nama Sistematika Wahyu. Konsep ini mengikuti pola manajemen ala Nabi dalam menyosialisasikan ajaran Islam. Nilai-nilai ideologi, akhlak, moral, operasional, dan development adalah esensi manajemennya. Penerapan nilai-nilai ini dalam pengembangan dakwah oleh para dai, muridnya, dapat dikategorikan berhasil dengan baik. Sekian puluh ribu dai yang berhasil membangun komunitas masyarakat tauhid yang berwawasan pelestari lingkungan di daerah terpencil di seluruh Indonesia telah menjadi fenomena manajemen sehingga World Commission of Environment & Development, salah satu lembaga di bawah naungan PBB, tahun 1985 menilai perlu memberikan penghargaan atas keberhasilannya.

Tahun 2001 seorang Ary Ginanjar mematenkan model manajemen spiritual yang dikenal dengan nama ESQ. Hanya dalam waktu 4 tahun, model ESQnya telah menjadi fenomena manajemen yang mendunia dan menembus angka 80.000 peserta pelatihan.

Penulis yang berkesempatan mempelajari ketiga fenomena manajemen tersebut mendapati bahwa ketiganya dikembangkan dari pesan fundamental TAUHID, yaitu IQRA, sehingga ketiga model tersebut tidak saling bersilangan, tetapi saling melengkapi satu dengan lainnya. Secara alamiah pemahaman atas konsep IQRA tersebut telah mengalami revolusi selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu contohnya, dengan model ESQ sekarang kita bisa memahami secara lebih mudah apa yang disebut dengan ”ruh”, ”hati”, dan ”akal”. Dalam kajiannya lebih lanjut, penulis melihat adanya keterikatan hardware dan software pada tubuh manusia dalam menjalankan misi manajemen spiritual tersebut.

Hardware dianalogikan dengan tubuh fisik sedangkan software dianalogikan sebagai nilai-nilai dasar manajemen spiritual. Pada prinsipnya semua gerakan tubuh ini dikendalikan oleh nilai-nilai dasar manajemen yang disebut dengan 6 Rukun Iman dengan esensi berikut:
Akal dan Kalbu yang terasah akan menuntun kita untuk mengenal dan mencintai Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui kemutlakan-Nya.
Mengatur masyarakat hanya bisa dilakukan dengan ketegasan yang berbasis kelembutan, kasih sayang, dan kepatuhan seperti malaikat.
Ikuti keteladanan kepemimpinan para Nabi.
Jadikan Qur’an dan Hadis sebagai buku panduan belajar.
Berpandangan jauh ke depan (visioner).
Bekerja terorganisir.

Inilah 6 esensi dalam manajemen spiritual yang terbukti telah menciptakan fenomena dalam sejarah manajemen.

Manajemen spiritual dalam kehidupan

Dimensi waktu dengan siklus dinamisnya merupakan suatu pola yang melekat pada kehidupan seseorang sejak lahir hingga wafatnya. Di sinilah ke-6 esensi Rukun Iman memegang peranan penting dalam urusan problem solving management. Pengendalian diri untuk tidak takabur dengan segala keberhasilan dan ketundukan menghadapi segala musibah hanya bisa dilalui secara sukses dengan memegang keenam esensi manajemen spiritual seutuhnya. Ketangguhan para manajer menghadapi segala problematika manajemen sesungguhnya sangat bergantung pada seberapa dalam mereka menghayati keenam esensi tersebut.

Bayangkan kematian selalu ada di pelupuk mata, maka perilaku dan sikap akan termotivasi untuk selalu berbuat yang terbaik. Model ESQ dengan ZMPnya mudah untuk diimplementasikan bila kita ingat akan mati. Inilah kunci keberhasilan dari manajemen spiritual, yaitu bila kita sadar akan kenyataan bahwa kematian akan datang setiap saat dan kesadaran ini kemudian menimbulkan kesadaran lainnya untuk berideologi tauhid, berakhlak, dan bermoral baik, mengedepankan prinsip operasi dan development yang selaras dengan enam esensi spiritual.

Integritas manajemen spiritual

Bagaimana mengonversikan bisnis modern menjadi bisnis berbasis manajemen spiritual? Well organized principle adalah pintu penyaringnya, karena di sinilah inti pemahaman secara akal dan kalbu bertemu. Secara empiris telah dibuktikan bahwa keberhasilan bisnis didominasi prinsip ini dan dipertegas pernyataan dalam surat Ar-Ra’d: 11 yang artinya, ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Kepemimpinan dalam manajemen spiritual

Ketika Nabi menyadari bahwa esensi IQRA harus disampaikan kepada semua manusia, maka sepanjang hidup beliau mengerahkan upaya-upaya terbaiknya untuk menciptakan kader-kader penerusnya. Lahirnya para sahabat terkemuka (Khulafaur Rasyidin) yang meneruskan manajemen Nabi selama lebih kurang 30 tahun setelah Nabi wafat merupakan referensi keberhasilan pengaderan oleh Nabi. Demikian pula dengan pola kepemimpinan KH Abdullah Said, ketika ia wafat tahun 1998 telah dilahirkan ribuan kader yang siap meneruskan perjuangannya. Ketika penulis mengamati Ary Ginanjar membumikan model ESQ tebersit suatu harapan dan optimisme bahwa ia telah memikirkan hakikat kepemimpinannya. Apa jadinya bila 80 ribu alumninya kehilangan arah karena kader-kader penerusnya belum siap? Apa jadinya bila kader-kader penerusnya tidak mengembangkan model ESQnya lebih lanjut?

0 komentar: