Ketentuan Ghibah,Menggunjing,Berburuk Sangka
Ketentuan Ghibah,Menggunjing,Berburuk
Sangka? Islam punya ketentuan dalam masalah ini,oleh sebab itu
marilah kita simak ketentuan apa saja serta hukum apa yang terkait dengan
kebiasaan seorang itu melakukan Ghibah mari kita simak artikel dibawah :
Definisi Ghibah
Dalam bahasa sehari-hari, ghibah sering
diartikan dengan gossip. Gossip
adalah suatu cerita yang belum diklarifikasi kebenarannya. Para da`i dan
penceramah kita sering mengartikan ghibah sebagai suatu perbuatan menceritakan
keadaan seseorang sementara orang yang diceritakan tidak senang jika keadaannya
diceritakan kepada orang lain.
Biasanya ghibah muncul akibat prasangka buruk terhadap
orang lain. Prasangka buruk terhadap orang lain. Prasangka buruk ini kemudian
disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan dan mencemarkan
nama baiknya. Pada puncaknya, orang tersebut dikucilkan dari pergaulan sosial.
Bahaya Ngegossip
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa
Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya
(artinya):
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang
lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang
lainnya. Apakah kalian suka salah seorang di antara kalian memakan daging
saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah
kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha
Pengasih.” (Al Hujurat: 12).
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi`i berkata dalam
tafsirnya: “ Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentangg ghibah
dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa
Ta`ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang yang memakan
bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta`ala …
(pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi`at,
demikian pula hal itu dibenci dalam syari`at. Sesungguhnya ancamannya lebih
dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar
menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini” (Lihat Misbahul Munir).
Suatu hari Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat
yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut
itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya).
Asy Syaikh Salim bin `Ied Al Hilali berkata: “Dapat
merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbuatan
ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan betapa busuk dan kotornya
perbuatan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan
tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin 3/25).
Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja
sudah mendapat teguran keras dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam,
lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu? Dari
shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku mi`raj (naik di langit), aku
melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam mencakar wajah-wajah
dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat
Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan
daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan
lainnya).
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’
dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan
pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu `anhu,
bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan
lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum
muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari
aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya
Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang
Allah mencari aibnya niscaya Allah
akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya).
Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu
`anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu
`alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu
`alaihi wasallam berkata: “Apakah kalian tahu bau apa ini?
(Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R.
Ahmad 3/351).
Dari shahabat Sa`id bin Zaid radhiyallahu
`anhu sesungguhnya RasulullahShallallahu `alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطَالةَ فِي عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَفِي رِوَايَة : مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِر
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar (dalam
riwayat lain: termasuk dari sebesar-besarnya dosa besar) adalah memperpanjang
dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu
Dawud no. 4866-4976).
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan
hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan
dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan
menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39
berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاً عَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
“Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain,
justru kamu lalai dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua
keaiban.” (Lihat Nashihati linnisa’i hal. 32).
Maksudnya, bila anda menyibukkan dengan aib orang lain
maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu telah terjatuh dalam kemaksiatan.
Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib pada dirimu sendiri itu juga
merupakan aib bagimu. Karena secara
tidak langsung kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan ma`shum kecuali
para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia
membencinya.”
Hadits di atas secara zhahir mengandung makna yang
umum, yaitu mencakup penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau di luar
sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani menguatkan bahwa
ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana asal kata ghibah (yaitu
dari kata ghaib yang artinya tersembunyi) yang ditegaskan oleh ahli bahasa.
Kemudian Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di hadapannya itu
merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan
menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat
Nashihati linnisa’i hal. 29).
Demikian pula bagi siapa yang mendengar dan ridha
dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak
ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya. Dari shahabat Abu Dzarradhiyallahu
`anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya
niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.”
(H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya).
Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat
saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia
menasihatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau
sekiranya ia tidak mampu menasihati atau mencegahnya dengan cara yang baik,
maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa
Ta`ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila mendengar
perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata:
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas
dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55).
Dari shahabat Abu Sa`id Al Khudri radhiyallahu
`anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallambersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia
mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan
lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini
selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun `alaihi).
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini
berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam
agama.
Para pembaca, karena perbuatan ghibah ini berkaitan
dengan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita
selalu memperhatikan apa yang kita ucapkan. Apakah ini mengandung ghibah atau
bukan, jangan sampai tak terasa lelah terjatuh dalam perbuatan ghibah. Bila
kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain,
insya Allah kita akan menjadi muslim sejati. Rasulullah Shallallahu
`alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim sejati adalah bila kaum
muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (H.R. Muslim).
Enam Jenis Ghibah yang Diperbolehkan
Ghibah,Menggunjing,Berburuk Sangka juga ada saatnya diperbolehkan lho.. mari kita
simak dalam keadaan apa saja itu:
Pertama,
melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh melaporkan kepada hakim
dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah
perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal
ini diperbolehkan dalam agama.
Kedua,
usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari dari
perbuatan maksiat, seperti mengutarakan kepada orang yang mempunyai kekuasaan
untuk mengubah kemungkaran. “Si Fulan telah berbuat tidak benar, cegahlah dia!”
Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah
kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang
diharamkan.
Ketiga,
untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dengan mengucapkan , “Ayah saya telah
berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana
caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan
hak saya?”
Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lebih
selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya, “Bagaimana hukumnya
bila ada seseorang yang berbuat begini kepada anaknya, apakah hal itu
diperbolehkan?” Ungkapan semacam ini lebih selamat karena tidak menyebut orang
tertentu.
Keempat,
untuk memperingatkan atau menasehati kaum Muslimin. Contoh dalam hal ini adalah
jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan para ulama hadis. Hal ini
diperbolehkan menurut ijmak ulama, bahkan menjadi wajib karena mengandung
maslahat untuk umat Islam.
Kelima,
bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan,
seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh menyebut seseorang
tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh menyebutkan aibnya
untuk umat Islam.
Keenam,
untuk memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri
seseorang.
Soal : Aku mempunyai seorang teman. Kalau dia
berbicara, seringkali perkataannya membicarakan tentang aib-aib orang lain
sehingga menjatuhkan kehormatan mereka. Aku sudah menasehatinya agar tidak lagi
membicarakan aib-aib orang lain, akan tetapi nasehat yang aku berikan tidak
bermanfa’at baginya. Dan yang nampak darinya, bahwa perkara membicarakan
aib-aib/kejelekan orang lain itu sudah menjadi kebiasaan/karakter yang melekat
pada dirinya. Walaupun terkadang dia membicarakan aib-aib orang lain itu untuk
tujuan/niat yang dianggapnya baik. Dengan keadaannya yang seperti ini, maka
apakah diperbolehkan untuk menjauhkan diri darinya ?
Jawaban Syaikh bin Bazz : Perkataan yang
ditujukan untuk membicarakan aib-aib kaum muslimin dengan menyebutkan apa-apa
yang tidak mereka sukai (sehingga hal itu bisa menjatuhkan kehormatan mereka di
hadapan orang lain), maka hal ini adalah perbuatan kemunkaran yang sangat
besar. Perkara ini termasuk perbuatan ghibah yang diharamkan, bahkan termasuk
dari dosa-dosa besar.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala (artinya) : “janganlah
sebagian kalian menggunjing/mengghibahisebagian yang lain.
Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati
? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kalian kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Al
Hujurat : 12)
Dan berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Kitab Shahihnya dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu’anhu
dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau telah bersabda
(yang artinya) :” Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah ?” Para
shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau
bersabda:”(Ghibah adalah) kamu
menceritakan tentang saudaramu dengan apa – apa yang tidak dia sukai”. Dikatakan kepada beliau :”Wahai Rasulullah,
bagaimana jika yang aku katakan tentang saudaraku itu memang ada padanya ?”
Beliau menjawab : “Jika apa yang kamu katakan itu memang
ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah mengghibahinya. Dan jika
apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah
berdusta atasnya”. Dan telah shahih dari beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau di mi’rajkan oleh Allah, beliau
melewati suatu kaum yang mempunyai kuku dari tembaga. Dengan kuku dari tembaga
itu mereka melukai wajah-wajah dan dada-dada mereka. Maka nabi bertanya :
“Wahai Jibril, siapakah mereka ?”Maka Jibril menjawab :”Mereka adalah
orang-orang yang telah memakan daging-daging manusia dan telah menginjak-injak/menjatuhkan
kehormatan mereka “. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dengan sanad yang
jayyid dari jalan shahabat Anas radliallahu’anhu).
Dan telah dikeluarkan oleh Imam Abu
Dawud dengan sanad yang hasan dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu’anhu
secara marfu : ” Sesungguhnya termasuk dari dosa-dosa besar yaitu seorang yang
menjatuhkan kehormatan seorang muslim (dengan membicarakan aibnya) tanpa alasan
yang haq “.
Dan wajib bagi engkau, demikian pula wajib bagi kaum
muslimin yang lain untuk menjauhi/meninggalkan majelisnya orang-orang yang
mengghibahi kaum muslimin. Bersamaan dengan itu, engkau nasehati orang yang
berbuat ghibah itu dan engkau ingkari perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya ) : “Barang siapa diantara kalian
yang melihat suatu perbuatan munkar, maka hendaklah dia ubah dengan tangannya.
Jika dia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika dia tidak mampu, maka
dengan hatinya. Yang demikian itu (mengubah kemungkaran dengan mengingkari
dalam hati ) adalah selemah-lemahnya iman “.
( Riwayat Imam Muslim dalam Kitab
Shahihnya)
Maka jika engkau telah memberinya
nasehat agar dia meninggalkan perbuatan ghibahnya, akan tetapi dia masih dalam
perbuatan itu, maka tinggaalkanlah majelis-majelisnya. Karena yang demikian itu
termasuk kesempurnaan dalam mengingkari perbuatan munkar (perbuatan ghibah yang
dilakukannya).
Kiat Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan
penyakit yang sulit dideteksi dan sulit diobati ini, ada beberapa kiat yang
bisa kita lakukan.
Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah
penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.
Kedua:
Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang
digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambilkan
dari timbangan kejahatan orang yang digunjingkannya dan ditambahkan kepada
timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu, niscaya seseorang akan
berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga:
Hendaknya orang yang melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan
segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada
diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya sendiri masih
mempunyai aib.
Keempat: Jika aib orang yang hendak digunjingkan tidak ada
pada dirinya sendiri, hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia
telah menghindarkanndari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan
aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.
Kelima:
Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti orang yang makan
bangkai saudaranya sendiri, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Dan janganlah
sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Al Hujuraat : 12)
Keenam:
Hukumnya wajib mengi-ngatkan orang yang sedang melakukan ghibah, bahwa
perbuatan tersebut hukum-nya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yang
melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.
Terimakasih sudah membaca aritkel Ghibah,Menggunjing,Berburuk
Sangka
Mudah-mudahan bermanfaat bagi saya pribadi serta para
pembaca sekalian
Dari berbagai sumber
Allohu’lam